Memiliki tempat tinggal di puncak gunung memang memiliki kenikmatan mata yang memuaskan, kesejukan udara yang melenakan, memiliki keramahan masyarakat yang tak kutemukan di ibu kota. Tapi bukan berarti kita memiliki segalanya. Seperti pulang kampungku kali ini.
Di tahun-tahun sebelumnya, musim pulang kampung kami adalah musim becek penuh air dan lumpur di sekitar rumah. Hingga kami harus lebih sering berada di depan 'hawu' alias perapian di dapur dan merapatkan selimut setiap waktu. Memandang halimun tebal menyelimuti gunung di tiap pagi, dan rintik hujan yang tiada henti di setiap hari. Dan musim ini, pulang kampung yang indah untuk mata, tapi tidak untuk kamar mandiku. Musim ini musim kemarau.
Pemandangan yang kulihat pagi pertamaku di kampung adalah sawah bapak yang kini berubah fungsi menjadi tempat ngangon embek. Karena tak tersisa air sedikit pun di atas permukaan tanah, akhirnya tumbuhlah rumput liar dengan malu di tengah sawah bapak. Mandi pagi yang memang tidak pernah aku jadwalkan (dingiiiiin) batal sudah disebabkan minimnya air di kamar mandi. Pemandangan piring kotor yang tadi kulihat menumpuk di dapur sudah dibawa ua ke sumur bawah (hingga hari akhir di kampung aku ga pernah cuci piring), dan tinggallah pegunungan baju kotor melambai-lambai minta air untuk mandi mereka. Dan mulailah ku gerilya mencari air sambil membawa baju kotor ke rumah ua-uaku sayang.
Hari kedua, mencuci seperti biasa, gerilya dulu. Dan selalu ada yang berbaik hati memberi sumurnya dengan cuma-cuma kepada musafir kehausan ini ^_^. Dan setelah menyelesaikan semua pekerjaan rumah, kami sekeluarga pergi melihat-lihat kebun yang sudah lama ditinggalkan sambil botram (makan-makan).
Matahari memperlihatkan kekuatannya di atas langit. Namun udara pegunungan yang dingin menjadikannya hangat dan sungguh enak untuk tidur. Tak terasa satu jam tertidur karena kelelahan jalan-jalan di kebun, ternyata mimi dan bapak mengajak Zia ziarah ke makam kakek meninggalkan dalam sepinya rumah siang itu. Dan Ita yang dua hari lalu kami jenguk menyusul kami ke kampung hari itu.
Bosan dengan kekeringan di rumah, akhirnya bapak berinisiatif mengajak saudara-saudara kami ke sungai terdekat, Cijalu. Sungai yang menjadi batas dua desa itu kini dilewati jembatan yang Alhamdulillah bisa muat untuk mobil menyebrang. Hingga kami yang sedang mencuci dan mandi bisa melihat satu sampai tiga mobil yang lewat (O O . . . . )
Ada yang mandi, cuci baju sampai cuci karpet, SERU. Dan Zia yang memang nempel sama tantenya ikut mandi walau sebentar. Dan bapak sibuk dengan nasi liwet beserta ikan goreng yang sengaja kami bawa dari rumah. Selesai mandi dan cuci-cuci makan enaaakkkk.
Hari yang indah dengan air melimpah di Cijalu. Alhamdulillah Cijalu masih dengan airnya yang jernih dan penuh. Baca selengkapnya »
4 komentar:
sekarang lagi kemarau yach sobat...
wah bosan dengan suasana yang kekeringan, malah dapet suasana yang menyenangkan di pingir kali. ehm, nikmatnya makan di pingir kali di temani suasana alam yang natural
saya seneng banget liat foto makanan yg di atas daun itu bunda
sudah lama saya tidak kundangan seperti itu di kampung
yg nyenengin yg terakhirnya ya.. makan bersama2 :)
Posting Komentar